Skip to content

= Tantangan Karier dan Membatasi Penggunaan Twitter

Published: at 09.30

Kembali menetap di Jakarta dengan menyewa tempat tinggal, aku berusaha melanjutkan belajar dan mencari pekerjaan sebagai developer. Namun, realitas yang kuhadapi jauh dari ekspektasi. Kesempatan kerja jarang muncul, dan penolakan dari perusahaan menjadi hal yang sering kualami. Ada saat-saat di mana aku merasa seolah-olah sudah tidak diminati di pasar kerja, seakan-akan keterampilanku tidak lagi relevan.

Pikiran untuk meninggalkan mimpi menjadi developer sempat terlintas. “Mungkin lebih realistis untuk berjualan nasi atau apa saja,” pikirku. Namun, di tengah kebimbangan ini, aku selalu berusaha untuk tetap bersyukur dan berharap Allah menjaga kita semua.

Realitas Finansial dan Ekspektasi

Kepada teman-temanku, aku selalu berusaha jujur. “Jangan memiliki ekspektasi yang berlebihan terhadapku,” kataku sering kali. Penghasilanku kecil, dan mungkin itu sebanding dengan keterampilan dan jaringan yang kumiliki saat ini. Ini adalah kenyataan yang harus kuterima, setidaknya untuk saat ini.

Membatasi Media Sosial demi Kesehatan Mental

Selama ini, Twitter menjadi tempat yang menyenangkan untuk belajar dan berbagi. Namun belakangan, aku merasakan platform tersebut menjadi semakin toksik dan tidak baik untuk keseharianku. Mungkin ini juga kesalahanku dalam memilih konten atau interaksi. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk membatasi penggunaan Twitter, fokus pada hal-hal yang lebih membangun.

Nasihat yang Mengubah Perspektif

Di tengah kebuntuan, aku teringat nasihat yang pernah kudengar, mirip dengan yang disampaikan oleh seorang ayah kepada anaknya: “Jika kamu depresi, keluarlah. Ambil sekop dan pindahkan tumpukan pasir dari satu sisi ke sisi lain. Jangan diam saja, lakukan sesuatu dan ambil tindakan.”

Nasihat serupa juga datang dari ayah dan mertuaku, “Yang penting obah (bergerak).” Kata-kata sederhana ini menjadi dorongan bagiku untuk terus bergerak, melakukan apa pun yang bisa kulakukan.

Mencari Makna dalam Setiap Tindakan

Mengikuti nasihat tersebut, aku mulai melakukan berbagai hal:

  1. Membantu menjual nasi milik teman di kelas
  2. Berjualan di Shopee
  3. Memberikan les privat (bimbingan belajar)
  4. Menjadi mentor, meskipun aku sendiri belum memiliki pekerjaan tetap
  5. Mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti menggosok WC, mencuci motor, dan mengepel.

Selain itu, aku juga fokus pada tugas kuliah yang menumpuk dan banyak lagi:

  1. Menghafal Kitab Tauhid
  2. Berusaha menghafal Juz Al-Qur’an
  3. Menulis ringkasan Kitab Tauhid
  4. Persiapan maju kedepan bahas Ushul FIkih
  5. Nulis Bahts perbandingan mazhab dari beberapa hadits
  6. Latihan mikir dan nyari rujukan

Menerima Kenyataan dan Terus Melangkah

Meskipun aku sadar bahwa mendapatkan pekerjaan sebagai developer akan sulit, aku tetap berusaha untuk tidak menyerah. Kenyataan ini memang pahit untuk ditelan, tapi aku percaya bahwa setiap usaha akan membuahkan hasil, entah dalam bentuk apa. Ah menyenangkan hidup ini.

Langkah ke Depan

Ke depannya, aku ingin tetap fokus pada pengembangan diri dan mencari peluang baru. Meskipun tantangan yang kuhadapi tidak mudah, aku percaya bahwa dengan usaha dan ketekunan, jalan akan terbuka.

Bagi mereka yang mungkin menghadapi situasi serupa, ingatlah bahwa tidak apa-apa untuk merasa down, tapi jangan biarkan dirimu terpuruk terlalu lama. Mulailah dengan langkah kecil, lakukan apa yang bisa kamu lakukan hari ini. Setiap tindakan, sekecil apa pun, adalah langkah maju menuju masa depan yang lebih baik.

Semoga Allah selalu membimbing langkah kita semua dalam menghadapi setiap tantangan hidup.