“Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an itu sesuatu yang tidak diacuhkan”. (Q.S. Al-Furqan: 30)
Berawal dari kutipan surah Al-Furqan ayat 30 tersebut, Allah ta’ala menceritakan keprihatinan Rasulullah ﷺ ketika kaumnya meninggalkan, tidak memperhatikan, dan bersikap acuh tak acuh terhadap Al-Qur’an. Ibnu Qayyim rahimahullah ta’ala menuliskan 5 macam sikap manusia ketika tidak mengacuhkan Al-Qur’an.
Dalam bukunya “Al-Fawaid”, Ibnu Qayyim rahimahullah ta’ala menyebutkan 5 macam:
1. Tidak Mendengarkan, Mengimani, dan Menyimak dengan Baik
Sikap pertama ini umumnya ditemui pada orang non-muslim karena tidak mengimani Al-Qur’an. Namun, sikap seperti ini terkadang juga didapati pada seorang muslim yang lebih suka mendengarkan musik dan nyanyian daripada Al-Qur’an.
Salah satu adab terhadap Al-Qur’an adalah tidak menjadikannya sebagai nada dering, karena hal itu dapat menimbulkan sikap tidak suka dan enggan mendengarkan.
2. Tidak Mengamalkan Al-Qur’an
Orang yang tidak mengamalkan Al-Qur’an, tidak berhenti pada batasan halal, serta tidak memperhatikan apa yang diharamkan Al-Qur’an, meskipun orang tersebut mengimani dan membacanya.
Sikap ini merupakan kekurangan yang sering dijumpai pada muslim saat ini, hanya membaca namun tidak mengamalkan isi Al-Qur’an.
Seorang Muslim dituntut untuk membaca Al-Qur’an dengan sebenar-benar bacaan, ini merupakan salah satu tanda orang beriman. Yang dimaksud sebenar-benar bacaan adalah membaca dengan upaya menghafalkan, memahami, merenungkan, dan mengamalkan isi kandungannya sebagaimana para sahabat dan tabi’in.
Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘anhu pernah bercerita tentang metode cara sahabat mempelajari Al-Qur’an, mereka belajar dengan mengenal dan memahami penuh kandungan 10 ayat Al-Qur’an sebelum melanjutkan ke ayat berikutnya.
Telah diriwayatkan bahwa Fudhail bin Iyadh rahimahullahu ta’ala berkata, “Al-Qur’an itu diturunkan untuk diamalkan dan dipraktikkan, namun banyak manusia yang menganggap aktivitas membaca Al-Qur’an saja sebagai bentuk beramal.”
Sebagaimana yang disampaikan Fudhail bin Iyadh rahimahullahu ta’ala di atas, Al-Qur’an itu untuk diamalkan, dipraktikkan, dan diaplikasikan dalam keseharian karena inilah tujuan pokok kitab ini diturunkan.
Maka membaca semata tanpa mengetahui isi kandungannya dan mengamalkannya tidak dinilai sebagai sebenar-benar bacaan.
Membaca Al-Qur’an adalah amalan yang baik, dan akan lebih baik lagi apabila termotivasi untuk mempelajari Al-Qur’an dengan baik lalu mengamalkan apa yang sudah dipelajari.
3. Tidak Menjadikan Al-Qur’an sebagai Pedoman dan Hukum
Mereka, ketika ada masalah, enggan merujuk kepada hukum Al-Qur’an, namun malah berpaling kepada aturan adat, budaya, dan hukum selain Al-Qur’an. Orang dengan sikap seperti ini enggan bermusyawarah kepada Kitabullah dalam perkara ushul dan cabang-cabangnya, serta menganggap apa yang Allah ta’ala sampaikan tidak menghasilkan sesuatu yang meyakinkan dan menganggap keyakinan hanya didapatkan dari akalnya saja.
4. Tidak Merenungkan Isi Kandungan Al-Qur’an
Orang yang tidak mau merenungkan isi kandungan Al-Qur’an, tidak berupaya untuk memahami isi kandungannya, dan tidak berkeinginan untuk mengetahui apa yang diinginkan Allah ta’ala di dalam Al-Qur’an.
Dalam matan “Lum’atul I’tiqad”, Imam Syafi’i rahimahullahu ta’ala pernah menyebutkan prinsip beragama seorang muslim,
“Kami beriman kepada Allah ta’ala dan Al-Qur’an yang berasal dari-Nya sebagaimana yang Allah ta’ala inginkan. Kami mengimani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan semua hadits yang berasal darinya sebagaimana yang diinginkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Maka sepantasnya bagi seorang muslim untuk semangat mempelajari bahasa Arab agar dapat memahami apa yang diinginkan Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jika dalam kondisi darurat, seseorang minimal dapat membaca Al-Qur’an terjemahan, lalu jika belum bisa menarik kesimpulan, hendaknya bertanya kepada guru ngaji terdekat agar mendapatkan pemahaman yang benar.
5. Tidak Mencari Kesembuhan dari Al-Qur’an
Orang yang tidak mau mencari kesembuhan dari penyakit hati dan penyakit lainnya melalui Al-Qur’an, namun mencari kesembuhan dengan selainnya dan meninggalkan Al-Qur’an.
Ini merupakan dilema masa sekarang, banyak orang yang mencari kelembutan hati dengan musik, drama, pelatihan hati, dan zikir yang tidak pernah diajarkan. Sikap ini tidak benar dan menyimpang karena Allah ta’ala telah menyebutkan bahwa Al-Qur’an adalah sumber kesehatan hati.
فإما يأتينكم مني هدى فمن اتبع هداي فلا يضل ولا يشقى
Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. (Q.S Thaha: 123)
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu menjelaskan ayat ini bahwa Allah ta’ala memberikan jaminan kepada siapa yang mengikuti Al-Qur’an tidak akan sesat di dunia dan tidak akan sengsara di akhirat.
Allah ta’ala juga telah menyebutkan bahwa Al-Qur’an ini adalah obat yang sempurna untuk segala penyakit hati, bahkan juga sempurna untuk mengobati penyakit badan dan segala kerusakan di dunia pada ayat berikut,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِّمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Q.S Yunus: 57)
Kesimpulan
Inilah 5 macam sikap orang yang meninggalkan Al-Qur’an. Maka, wajib bagi seorang muslim untuk berpegang teguh pada Al-Qur’an dan meningkatkan level dalam mempelajari Al-Qur’an agar dapat memahami lebih dalam dan mengamalkan Al-Qur’an dalam kehidupan nyata.
Semoga kecintaan kita untuk belajar dan mencintai Al-Qur’an terus bertambah serta dapat terus mengamalkannya, yang kemudian mengantarkan kita kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Alhamdulillah, segala puji dan syukur kepada Rabb alam semesta.