Skip to content

Kenapa 'Seharusnya' adalah Musuh Terbesar Kita

Updated: at 22.32

Jason punya cara yang menarik untuk menjelaskannya: menurutnya, ini semua tentang feeling yaitu perasaan. Ada semacam kepuasan spiritual ketika kamu menemukan sesuatu yang utuh, yang koheren. Bukan cuma berfungsi, tapi terasa benar. Seperti kamu tahu bahwa setiap bagiannya ada di tempat yang seharusnya, tidak ada yang bisa diganti atau dihilangkan tanpa merusak keseluruhannya.

Dan kalau dipikir-pikir, di tengah semua kehebohan AI sekarang di mana semua orang berlomba-lomba bikin produk dengan cepat, semua orang jadi “bisa coding”, semua orang bisa launch produk dalam seminggu—mungkin yang justru jadi pembeda adalah hal-hal yang nggak bisa di-automate: visi yang jelas, taste yang konsisten, dan keberanian untuk tetap jadi diri sendiri.

AI itu keren, memang. Tapi dia cuma alat. Seperti palu buat tukang kayu, atau kuas buat pelukis. Yang bikin sebuah karya jadi istimewa bukan alatnya, tapi tangan dan kepala orang yang memegangnya. Visi yang utuh, ide yang koheren, keberanian untuk tidak ikut-ikutan—itu semua masih datang dari manusia.

Jadi mungkin justru sekarang adalah waktu terbaik untuk tidak ikut arus. Untuk tidak bikin produk yang “seharusnya” kamu bikin. Untuk tidak jadi versi generik dari founder “yang benar”. Malah sebaliknya: jadilah semakin kamu. Karena di dunia yang makin seragam, yang makin template-driven, yang paling langka justru adalah keunikan yang autentik.