Catatan lama di obsidian, saya lupa ini tulisan pribadi atau kutipan dari salah satu buku Buya Hamka.
Sebanyak apapun ilmu yang ia enyam, sebanyak buku ia yang punya di lemari dan dibacanya setiap hari, tidaklah akan mendorong cipta dan tidaklah akan berani menghadapi kewajiban jika iman tidak ada. Iman adalah pokok, kepercayaan kepada Zat yang mahakuasa.
Maka, Mempunyai iman dan agama berpengaruh besar terhadap pembentukan pribadi.
Agama dan Iman ini menjadi penerang kala jalan kita gelap dan tidak tentu lagi tanah yang akan dituju. Di tengah padang pasir Sahara yang luas dan tak ada air walaupun ada sebongkah emas, hilanglah harganya. Apa gunanya emas itu? Kita hanya membutuhkan air!
Yang demikian harus ada dalam hidup kita. waktu akal berhenti berjalan, pikiran tidak dapat menembusnya lagi. Karamlah orang yang tidak memiliki pegangan. Kalau sudah seperti ini, kita banyak bertemu dengan teman yang hanya menurutkan hitungan pikiran dan memandang agama hanya memberati belaka. Tetapi akhirnya, dia terpaksa ikut tersipu-sipu menghadap Allah, yang pada awalnya telah diingkarinya. Syukurlah sebab Allah ta’ala memanglah tuhan.
أَن لَّا مَلْجَأَ مِنَ ٱللَّهِ إِلَّآ إِلَيْهِ
Serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksaan) Allah, melainkan kepada-Nya saja.
Pekerjaan di dalam hidup kita asalkan kita niatkan adalah ibadah semata. Bukan hanya shalat dan puasa saja yg dikatakan berpuasa, namun mengurus negara, menjadi ahli politik, menjadi saudagar, bahkan segenap cabang pekerjaan sehingga menyekolahkan anak dan menanggung nafkah istri pun ibadah juga.
Tentu jiwa yang demikian ada juga pada agama yang lain. Yang menjadi pokoknya adalah niat menuntut keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala.
Orang yang beragama seperti itu percaya kepada dirinya sebab dirinya percaya kepada Khaliknya. Dia pun dapat pula dipercayai oleh orang lain. Menjadi tinggi pula nilai kerjanya sebab yang ia harapkan bukan keridhaan manusia, melainkan keridhaan sang Khalik.
Adapun orang yang hanya beragama karena keturunan, agama yang tidak “hidup menyala” dalam jiwanya, sering kehilangan kegembiraan dan ragu bimbang.
Guru Buya Hamka, A.R St. Mansur
Dalam agama ini, seumpama kita lahir dua kali, kelahira yang pertama, yaitu kita dalam Islam. Tetapi setelah kita dewasa, kita Harus Lahir Sekali Lagi. Kita pelajari agama itu sedalam-dalamnya dan kita sesuaikan hidup kita dengannya. kemudian kita pelajari pula agama yang lain supaya sebagai orang Islam kita mengetahui apa persamaan kita dan apa pula perbedaan kita.